Bergegas kutunggangi sepeda motorku menuju ke arah timur.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 09.45 wib. "Ahh...aku hampir
telat" Ku pacu semakin kencang. Selang sepuluh menit, tiba saatnya aku
memasuki gerbang sekolah SDIT Darul Fikri. Ku ambil posisi parkir agak di
tengah. Kedatanganku disambut hangat oleh beberapa ustadzah di depan meja tamu.
Aku tertegun sejenak melihat keindahan ini. Seluruh ustadzah mengenakan atasan pink dipadu dengan bawahan berwarna
abu-abu. Aku memasuki tenda yang warnanya senada dengan seragam ustadzah. Kursi
di bawah tenda ini dibagi menjadi tiga bagian. Barisan kursi sebelah kanan,
diisi oleh tamu laki-laki, bagian tengah diisi oleh siswa kelas enam sedangkan
sebelah kiri untuk tamu perempuan. Di bagian depan barisan kursi, terdapat tiga
meja bundar berbungkus apik kain berwarna putih diselingi pink. Di seberang meja bundar, terdapat panggung berukuran lima
belas meter. Kupilih tempat duduk sebelah kiri baris ketiga dari depan,
berharap dapat dengan leluasa menikmati acaranya.
Dua orang pembawa acara mengucapkan salam, pertanda acara
telah dimulai. Acara dipandu dalam dua bahasa. Aku mencoba hikmad mengikuti
acaranya. Setelah pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, acara dilanjutkan dengan
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan mars jaringan islam terpadu.
Haha... Haha...Dengan berbekal semangat kami melangkah
Menjalin ukhuwah dengan tekat membaja
Menuju mutu pendidikan Indonesia
Melahirkan generasi cerdas mulia
Kami jaringan Sekolah Islam Terpadu
Sambut masa depan wajah Indonesia baru
Bersama tinggikan martabat dan citra guru
Indonesia pasti maju (pasti maju)
Haha... Haha...
Disinilah tempat kami berkarya
Menggapai harapan meraih cita-cita
Sebagai penggerak dan pemberdaya bangsa
Wujudkan masyarakat adil dan sejahtera
Kami jaringan Sekolah Islam Terpadu
Bangkit serentak menyongsong peradaban baru
Bulatkan tekat dan cita membangun bangsa
Indonesia kan jaya
Haha... Haha...
Kusimak liriknya, begitu bersemangat seluruh siswa kelas
enam menyanyikan lagu marsnya. Kutarik napas dalam-dalam, entah kenapa bulir
bening ini jatuh di ekor mataku. Kuresapi anak-anak melantunkan liriknya,
kutangkap semangat membara mereka pada hari yang sangat bahagia ini. Kuseka
bulir bening ini, sambil kutatap wajah anakku dari kejauhan, yang tetap
bersemangat menyelesaikan lirik untuk kedua kalinya.
Acara selanjutnya adalah sambutan siswa berprestasi, yang
disampaikan oleh satriaji. Panggilan akrabnya Aji. Aku kembali merasakan
suasana haru, menyimak apa yang disampaikannya. “Terima kasih kepada semua ustad dan ustadzah yang telah menunjukajari kami selama kami disini. Terima
kasih kepada orang tua kami, yang telah mengantarkan kami bersekolah di tempat
ini” Aku semakin sering menyambut bulir bening ini. Tak kuasa menahan suasana
yang haru biru ini. Tibalah saat mendengarkan pesan ustadz Anjar Parmidi selaku Top
Leader di sekolah ini. Kutelusuri setiap untaian kata yang keluar, aku
semakin larut dalam haruku. “kalian adalah anak-anak yang luar biasa, anak-anak
yang ustad banggakan. Sudah fitrahnya
setiap pertemuan ada perpisahan. Ustad
berpesan tetaplah bertaqwa kepada Allah Subhana Wata’ala, miliki rasa malu kepada
Allah, takutlah berbuat dosa. Jangan sampai kalian tidak ada, pada saat Allah
menunggu kalian untuk berbuat baik. Jadilah mercusuar
di tempat yang baru. Tetaplah menjaga keimanan”. Kerenungi nasehat ini, kucoba
resapi makin dalam.
“Ya Allah, jadikan anak-anakku orang yang selalu Engkau beri
petunjuk, ridhoi mereka, permudahkanlah jalan hidupnya, aamiin” Kutitip sepucuk
doa ini ya Allah, gumamku. Sementara itu, ustad
Anjar mengakhiri sambutannya. Kuusap ekor mataku, berharap tak ada yang melihat
haruku.
“Dimohon untuk naik ke atas
panggung” sembari mengalihkan pandanganku ke arah sumber suara, aku berbisik
kepada ibu yang duduk di sebelahku. “Siapa yang dipanggil bu?” “Satriaji”
ujarnya, tanpa menoleh ke arahku. “Pemberian penghargaan siswa kelas enam yang
berprestasi” Ucapnya lagi, namum tetap sibuk dengan gadgetnya. Aku kagum sekali dengan anak ini. Aji, adalah teman
anakku semenjak di taman kanak-kanak. Perawakannya agak gemuk, berkulit putih,
dengan lesung pipi mewarnai senyumnya. Penyematan selempang bertuliskan “siswa
berprestasi” dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkulu Utara.
Senyuman khas terkembang, mengarah ke posisi tempat duduk orang tuanya.
Terbayang santun lakunya.
“Penganugerahan hafizh quran juz 30, dengan predikat mumtaz, nilai di atas 93”
“Kepada nama-nama yang akan kami sebutkan,
silahkan mengambil tempat”
Pembawa acara, membacakan nama-nama siswa peraih predikat mumtaz. Aku amati semua anak-anak yang
bersiap-siap, menunggu giliran untuk naik ke atas panggung. Tak kulihat sosok
anakku. Kutekuni daftar nama yang dibacakan, hingga urutan ke tiga belas, ya
memang tidak ada. Banyak pertanyaan mencerca kalbuku.
“Predikat apa yang diraih anakku?”
“Mengapa dia tidak meraih predikat mumtaz?”
“Apakah anakku tidak lulus ujian tahfizh?”
Kulirik dia dari kejauhan, masih biasa bercakap-cakap dengan
teman di sebelahnya, sambil sesekali menunjuk ke arah panggung. Tanyaku pupus
tanpa jawab.
Rangkaian acara dilanjutkan dengan
pemberian samir dan piagam tahfiz
quran. Secara bergantian siswa dipanggil ke atas panggung, ketua yayasan
mengalungkan samir sementara kepala sekolah memberikan piagamnya, didampingi wali
kelas masing-masing. Sudah hampir tiba giliran anakku. Dengan sigap aku maju ke
depan, mengambil posisi untuk mengabadikannya dengan gadgetku.
“Irfan Amaro Filardhi Fillah, anak dari bapak Gusman dan ibu
Eza Avlenda. Tahfiz quran dengan
predikat maqbul”
Klik..klik..klik..aku mengambil foto dari beberapa sisi,
berharap dapat angel yang tepat.
Terakhir pada saat dia menuruni anak tangga. Dia langsung menghampiriku.
“Maafkan ya ma, adik cuma dapat predikat maqbul” sembari menyerahkan map berwarna
merah hati. Kutatap matanya yang melukiskan kekecewaan, berharap aku menerima
pintanya.
“tidak apa-apa dik, mama tetap bangga” Kuusap rambutnya,
hampir saja kucium keningnya. Aku tersentak, selembar catatan dihatiku jatuh
“Jangan mencium adik di tempat ramai” Kualihkan perhatian pada map merah,
tertulis nilai B+, predikat maqbul.
Kembali ke tempat duduk semula,
menunggu sesi ini usai, kulirik gadget,
mengecek galeri foto. Setelah selesai sesi pemberian samir dan piagam,
dilanjutkan dengan foto bersama ketua yayasan, kepala sekolah dan orang tua
secara bergantian. Di akhir acara, seluruh aulad
(sebutan untuk siswa laki-laki) naik ke atas panggung menyanyikan lagu selamat
tinggal sahabatku.
Selamat tinggal sahabatku
Ku kan pergi berjuang
Menegakkan cahaya islam
Jauh di negeri seberang
Selamat tinggal sahabatku
Relakanlah diriku
Kirimkanlah doa restumu
Allah bersama slalu
Ku berjanji dalam hati
Untuk segera kembali
Menjayakan negeri ini
Dengan ridho Illahi
Kalaupun tak lagi jumpa
Usahlah kau berduka
Semoga tunai cita-cita
Raih gelar syuhada
Tak dapat ku bendung lagi, tumpah
juga di ujung mata. Kalbuku dibaluri haru, berada dalam suasana biru. Telah
enam tahun bercengkrama bersama teman, ustad
dan ustadzah. Tak ada lelah, yang ada
hanya tawa. Namun hari ini mungkin pertemuan terakhir mereka, sebelum menapaki
titian yang terpisah. Akankah suasana ini, hadir kembali dipelupuk rindu.
Menarik mereka tuk bertemu.
Posting Komentar