Pemerintah mulai
menyadari pentingnya budaya membaca bagi kita. Salah satu program yang
dimunculkan dalam tiga tahun terakhir adalah Gerakan Literasi sekolah (GLS). Banyak
kegiatan yang dapat kita lakukan di madrasah/sekolah. Contoh kegiatan yang
dapat dilakukan yaitu menyediakan waktu lima belas menit sebelum kegiatan pembelajaran
dimulai, diisi dengan kegiatan membaca. Siswa boleh membaca buku apa saja yang
diminatinya. Cukup dengan lima belas menit, siswa dapat melanjutkan bacaannya
pada saat istirahat atau kegiatan membaca keesokan harinya. Bisa dilanjutkan
dengan kegiatan membuat resume buku yang telah dibaca. Bagaimana dengan guru, apakah
selalu meluangkan waktu untuk membaca dan menulis?
Hampir semua guru
memiliki akun sosial media. Kalau update
status di sosial media, hampir setiap hari dapat dilakukan oleh guru. Namun jika
guru diminta untuk menulis satu paragraf saja, mukanya sudah mulai berubah,
mikirnya lama, berdalih lagi buntu, tidak punya ide. Padahal ide banyak
bertebaran di sekitar kita. Anggap saja kita sedang mengobrol, ngobrolnya
dengan buku, karena buku tidak dapat mendengar, maka mengobrolnya dapat
dilakukan lewat tulisan.
Tidak sedikit guru
yang langsung muram mendengar kata menulis. Kalau saya ditanya bagaimana cara
mudah menulis. Saya akan menjawab, cara mudah menulis adalah mulai menulis. Jangan
memikirkan hasil tulisan yang harus bagus, namun tanamkan dulu budaya
menulisnya. Jika tidak ada ide, maka itupun sudah ide. Tuliskan kenapa tidak
punya ide menulis, kapan saat-saat kita mendapatkan ide menulis. Apa yang
biasanya kita lakukan pada saat tidak punya ide menulis. Bukankah itu sudah
menjadi satu tulisan?
Sungguh aneh kalau
guru jauh dari budaya membaca dan menulis, karena guru berkecimpung dalam dunia
belajar dan mengajar. Pada hakikatnya guru harus selalu belajar, karena
sesungguhnya hakikat mengajar, adalah terus belajar.
Posting Komentar