0


Pemerintah mulai menyadari pentingnya budaya membaca bagi kita. Salah satu program yang dimunculkan dalam tiga tahun terakhir adalah Gerakan Literasi sekolah (GLS). Banyak kegiatan yang dapat kita lakukan di madrasah/sekolah. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan yaitu menyediakan waktu lima belas menit sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, diisi dengan kegiatan membaca. Siswa boleh membaca buku apa saja yang diminatinya. Cukup dengan lima belas menit, siswa dapat melanjutkan bacaannya pada saat istirahat atau kegiatan membaca keesokan harinya. Bisa dilanjutkan dengan kegiatan membuat resume buku yang telah dibaca. Bagaimana dengan guru, apakah selalu meluangkan waktu untuk membaca dan menulis?
Hampir semua guru memiliki akun sosial media. Kalau update status di sosial media, hampir setiap hari dapat dilakukan oleh guru. Namun jika guru diminta untuk menulis satu paragraf saja, mukanya sudah mulai berubah, mikirnya lama, berdalih lagi buntu, tidak punya ide. Padahal ide banyak bertebaran di sekitar kita. Anggap saja kita sedang mengobrol, ngobrolnya dengan buku, karena buku tidak dapat mendengar, maka mengobrolnya dapat dilakukan lewat tulisan.
Tidak sedikit guru yang langsung muram mendengar kata menulis. Kalau saya ditanya bagaimana cara mudah menulis. Saya akan menjawab, cara mudah menulis adalah mulai menulis. Jangan memikirkan hasil tulisan yang harus bagus, namun tanamkan dulu budaya menulisnya. Jika tidak ada ide, maka itupun sudah ide. Tuliskan kenapa tidak punya ide menulis, kapan saat-saat kita mendapatkan ide menulis. Apa yang biasanya kita lakukan pada saat tidak punya ide menulis. Bukankah itu sudah menjadi satu tulisan?  
Sungguh aneh kalau guru jauh dari budaya membaca dan menulis, karena guru berkecimpung dalam dunia belajar dan mengajar. Pada hakikatnya guru harus selalu belajar, karena sesungguhnya hakikat mengajar, adalah terus belajar.   


Posting Komentar

 
Top