Terdengar nada dering
dari ponselku, kurogoh saku bajuku. Ku lihat dilayarnya, panggilan dari
sayangku. Aku segera izin keluar meninggalkan ruang rapat sembari mengusap
layar ponselku tuk menerima panggilan.
“Assalamualaikum?” salam pembuka
darinya.
“Waalaikummussalam. Ada apa pa?”
jawabku.
“Sebentar lagi papa harus berangkat ke
luar kota, ada panggilan diklat” ujarnya.
“Siang ini mas? Kok mendadak? Tanyaku
dengan nada heran.
“Iya. Papa sebentar lagi pulang, mau
siap-siap dulu ma. Mama lanjutkan saja rapatnya. Assalamualaikum” lanjutnya
mengakhiri telepon.
“Waalaikummussalam. Jawabku lirih.
Aku masuk kembali ke
ruang rapat. Konsenterasiku buyar. Banyak pertanyaan muncul di benakku. Mengapa
suamiku harus menerima tawaran diklatnya. Harus tergesa-gesa bersiap untuk
berangkat, padahal jarak tempuhnya cukup jauh, kurang lebih 12 jam dengan jalan
darat. Begitu pentingkah mengikuti diklat tersebut. Ahh..kecurigaanku mulai
muncul.
Telah tiga bulan ini,
aku menaruh curiga atas perubahan tingkah laku suamiku. Dia memang tetap
perhatian terhadap diriku. Namun, jika aku menghubungi, ponselnya selalu sibuk.
Berangkat kerja pagi-pagi tidak pernah bareng lagi, selalu aku yang berangkat
duluan. Padahal sebelumnya kami biasa berangkat bareng, walaupun tempat kerja
kami berbeda. Jika berada di rumah, dia selalu sibuk dengan ponselnya, durasi
menggunakan ponselnya sudah semakin sering. Setelah shalat magrib biasanya kami
menghabiskan waktu bercengkerama bersama anak, tapi kini dia tidur duluan. Jika
aku Tanya, alasannya capek, shalat isyanya nanti saja.
Ponselku berdering
kembali, aku tersentak. Segera ku raih ponselku. Suamiku menelepon lagi. Aku
menjawab teleponnya. Dia memberitahuku bahwa dia telah berada di parkiran, aku
segera keluar menemuinya.
“Papa berangkat sekarang ya ma” ujarnya.
“sama siapa?” tanyaku dengan nada
menyelidik dan menatapnya aneh.
“Nanti ada teman di jalan, yang juga
dipanggil untuk menggantikan peserta lain” tukasnya.
“Sudah janjian? Lanjutku.
“Iya. Papa berangkat ya ma, takut nggak
terkejar mengikuti materi besok pagi” jawabnya sambil melirik jam tangannya.
Disodorkannya tangan
kanan, pertanda pamitan. Aku raih dan mencium tangannya. Aku melepas
kepergiannya dengan perasaan yang masih bercampur aduk. Aku pandangi, hingga
mobilnya menghilang di tikungan jalan. Ku lirik ponselku, waktu menunjukkan
pukul 13.17 wib. Aku kembali memasuki ruangan rapat. Tak lama berselang, rapat
berakhir. Aku segera pulang ke rumah.
Aku rebahkan tubuhku di
kasur, mencoba menenangkan pikiran. Walaupun hati ini masih berkecamuk tak
karuan. Banyak pertanyaan yang tak pasti apa jawabannya. Aku hanya bisa
menebak-nebak, tanpa tahu dugaanku yang mana yang benar. Namun yang pasti, aku
merasakan ada perubahan tingkahlaku suamiku. Seperti kemarin, pukul sebelas
siang, dia berpamitan kepadaku untuk mencuci mobil ke tempat langganannya. Aku
sebenarnya sudah menaruh curiga, sebab biasanya suamiku lebih senang mencuci
mobilnya sendiri. Alasannya lebih bersih, tapi jika kecapaian biasanya dia
menyuci mobil ke tempat langganannya. Setelah tiga puluh menit, aku menghubungi
teleponnya. Tepat seperti dugaannku, terdengar nada sibuk dari ponselnya. Ku
coba menghubungi ulang, tetap saja terdengar nada sibuk. Akhirnya aku
memutuskan untuk berhenti menghubungi. Suamiku pulang ke rumah, kurang
lebih pukul 17.00 wib. Langsung aku
mencercanya dengan berbagai pertanyaan.
“Papa dari mana saja? Kok, mama telepon
sibuk terus, lagi nelepon siapa hah? ngaku pa!” tanyaku dengan nada marah.
“Papa menunggu cucian mobil hingga
selesai ma. Tanggung kalau pulang. Lagipula banyak yang ngantri” jawabnya
dengan tegas.
“Terus nelepon siapa seharian hah? Mama
hubungi nada sibuk terus? Sambarku tak lama.
“Ada teman yang menelepon. Mama nih
curiga saja bawaannya” tukasnya membela diri.
Lama aku beradu sengit
dengan pikiranku, tanpa tahu harus berbuat apa. Aku sibuk mengumpulkan
bukti-bukti bahwa telah terjadi perubahan pada diri suamiku. Entah dapat ide
darimana, kucoba login ke akun facebooknya. Di ponselku tertulis email atau password yang anda gunakan salah. Ku coba ulangi lagi, tetap tidak
bisa. Aku menarik kesimpulan bahwa suamiku telah mengganti password akun facebooknya.
Hal ini menambah daftar kecurigaannku.
Waktu telah menunjukkan
pukul 16.00 wib, mataku tetap tidak mau terpejam. Aku mencoba menghubungi
suamiku. Menanyakan perjalanannya. Kubuka log
panggilan di ponselku. Memilih nomor yang kukenal.
“Assalamualaikum” kuucap salam.
Terdengar jawaban salam darinya.
“sudah ketemu teman papa yang mau
berangkat bareng?” tanyaku.
“Oh, dia tidak jadi berangkat ma”
tukasnya.
“Apa? Jadi papa berangkat sendiri? Nekad
betul pa” sahutku.
“Tidak apa-apa ma, kalau ngantuk, nanti
papa istirahat dulu di pom bensin” jawabnya menenangkanku.
“Sudah ya ma, nanti telepon lagi. Batre
papa tinggal sedikit, nanti telepon lagi. Perjalanan papa masih panjang.
Assalamualaikum” jawabnya memutuskan teleponnya.
Aku terbelalak kaget,
heran dengan apa yang baru saja terjadi. Suamiku rela menempuh perjalanan jauh,
hanya demi mengikuti sebuah diklat? Jangan-jangan teman yang akan dijemputnya
tadi hanya bohong belaka, agar aku tidak merasa was-was. Dia rela melakukan
perjalanan jauh sendirian. Mengapa dia begitu bersemangat mengikuti diklat
tersebut, walaupun hanya berlangsung satu minggu. Perasaanku makin tidak
menentu. Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku selamat sampai di tujuan.
Pada malam hari setelah
shlt isya, ponselku berdering. Ku lihat kontaknya, sayangku menelepon. Aku
enggan mengangkatnya. Hatiku sedang kesal, kecewa dengan keputusannya. Hingga
tiga kali panggilan darinya tak kuhiraukan. Aku ingin dia tahu, bahwa aku
kecewa.
Posting Komentar