0


Terdengar nada dering dari ponselku, kurogoh saku bajuku. Ku lihat dilayarnya, panggilan dari sayangku. Aku segera izin keluar meninggalkan ruang rapat sembari mengusap layar ponselku tuk menerima panggilan.
“Assalamualaikum?” salam pembuka darinya.
“Waalaikummussalam. Ada apa pa?” jawabku.
“Sebentar lagi papa harus berangkat ke luar kota, ada panggilan diklat” ujarnya.
“Siang ini mas? Kok mendadak? Tanyaku dengan nada heran.
“Iya. Papa sebentar lagi pulang, mau siap-siap dulu ma. Mama lanjutkan saja rapatnya. Assalamualaikum” lanjutnya mengakhiri telepon.
“Waalaikummussalam. Jawabku lirih.
Aku masuk kembali ke ruang rapat. Konsenterasiku buyar. Banyak pertanyaan muncul di benakku. Mengapa suamiku harus menerima tawaran diklatnya. Harus tergesa-gesa bersiap untuk berangkat, padahal jarak tempuhnya cukup jauh, kurang lebih 12 jam dengan jalan darat. Begitu pentingkah mengikuti diklat tersebut. Ahh..kecurigaanku mulai muncul.
Telah tiga bulan ini, aku menaruh curiga atas perubahan tingkah laku suamiku. Dia memang tetap perhatian terhadap diriku. Namun, jika aku menghubungi, ponselnya selalu sibuk. Berangkat kerja pagi-pagi tidak pernah bareng lagi, selalu aku yang berangkat duluan. Padahal sebelumnya kami biasa berangkat bareng, walaupun tempat kerja kami berbeda. Jika berada di rumah, dia selalu sibuk dengan ponselnya, durasi menggunakan ponselnya sudah semakin sering. Setelah shalat magrib biasanya kami menghabiskan waktu bercengkerama bersama anak, tapi kini dia tidur duluan. Jika aku Tanya, alasannya capek, shalat isyanya nanti saja.
Ponselku berdering kembali, aku tersentak. Segera ku raih ponselku. Suamiku menelepon lagi. Aku menjawab teleponnya. Dia memberitahuku bahwa dia telah berada di parkiran, aku segera keluar menemuinya.
“Papa berangkat sekarang ya ma” ujarnya.
“sama siapa?” tanyaku dengan nada menyelidik dan menatapnya aneh.
“Nanti ada teman di jalan, yang juga dipanggil untuk menggantikan peserta lain” tukasnya.
“Sudah janjian? Lanjutku.
“Iya. Papa berangkat ya ma, takut nggak terkejar mengikuti materi besok pagi” jawabnya sambil melirik jam tangannya.
Disodorkannya tangan kanan, pertanda pamitan. Aku raih dan mencium tangannya. Aku melepas kepergiannya dengan perasaan yang masih bercampur aduk. Aku pandangi, hingga mobilnya menghilang di tikungan jalan. Ku lirik ponselku, waktu menunjukkan pukul 13.17 wib. Aku kembali memasuki ruangan rapat. Tak lama berselang, rapat berakhir. Aku segera pulang ke rumah.
Aku rebahkan tubuhku di kasur, mencoba menenangkan pikiran. Walaupun hati ini masih berkecamuk tak karuan. Banyak pertanyaan yang tak pasti apa jawabannya. Aku hanya bisa menebak-nebak, tanpa tahu dugaanku yang mana yang benar. Namun yang pasti, aku merasakan ada perubahan tingkahlaku suamiku. Seperti kemarin, pukul sebelas siang, dia berpamitan kepadaku untuk mencuci mobil ke tempat langganannya. Aku sebenarnya sudah menaruh curiga, sebab biasanya suamiku lebih senang mencuci mobilnya sendiri. Alasannya lebih bersih, tapi jika kecapaian biasanya dia menyuci mobil ke tempat langganannya. Setelah tiga puluh menit, aku menghubungi teleponnya. Tepat seperti dugaannku, terdengar nada sibuk dari ponselnya. Ku coba menghubungi ulang, tetap saja terdengar nada sibuk. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti menghubungi. Suamiku pulang ke rumah, kurang lebih  pukul 17.00 wib. Langsung aku mencercanya dengan berbagai pertanyaan.
“Papa dari mana saja? Kok, mama telepon sibuk terus, lagi nelepon siapa hah? ngaku pa!” tanyaku dengan nada marah.
“Papa menunggu cucian mobil hingga selesai ma. Tanggung kalau pulang. Lagipula banyak yang ngantri” jawabnya dengan tegas.
“Terus nelepon siapa seharian hah? Mama hubungi nada sibuk terus? Sambarku tak lama.
“Ada teman yang menelepon. Mama nih curiga saja bawaannya” tukasnya membela diri.
Lama aku beradu sengit dengan pikiranku, tanpa tahu harus berbuat apa. Aku sibuk mengumpulkan bukti-bukti bahwa telah terjadi perubahan pada diri suamiku. Entah dapat ide darimana, kucoba login ke akun facebooknya. Di ponselku tertulis email atau password yang anda gunakan salah. Ku coba ulangi lagi, tetap tidak bisa. Aku menarik kesimpulan bahwa suamiku telah mengganti password akun facebooknya. Hal ini menambah daftar kecurigaannku.
Waktu telah menunjukkan pukul 16.00 wib, mataku tetap tidak mau terpejam. Aku mencoba menghubungi suamiku. Menanyakan perjalanannya. Kubuka log panggilan di ponselku. Memilih nomor yang kukenal.
“Assalamualaikum” kuucap salam. Terdengar jawaban salam darinya.
“sudah ketemu teman papa yang mau berangkat bareng?” tanyaku.
“Oh, dia tidak jadi berangkat ma” tukasnya.
“Apa? Jadi papa berangkat sendiri? Nekad betul pa” sahutku.
“Tidak apa-apa ma, kalau ngantuk, nanti papa istirahat dulu di pom bensin” jawabnya menenangkanku.
“Sudah ya ma, nanti telepon lagi. Batre papa tinggal sedikit, nanti telepon lagi. Perjalanan papa masih panjang. Assalamualaikum” jawabnya memutuskan teleponnya.
Aku terbelalak kaget, heran dengan apa yang baru saja terjadi. Suamiku rela menempuh perjalanan jauh, hanya demi mengikuti sebuah diklat? Jangan-jangan teman yang akan dijemputnya tadi hanya bohong belaka, agar aku tidak merasa was-was. Dia rela melakukan perjalanan jauh sendirian. Mengapa dia begitu bersemangat mengikuti diklat tersebut, walaupun hanya berlangsung satu minggu. Perasaanku makin tidak menentu. Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku selamat sampai di tujuan.
Pada malam hari setelah shlt isya, ponselku berdering. Ku lihat kontaknya, sayangku menelepon. Aku enggan mengangkatnya. Hatiku sedang kesal, kecewa dengan keputusannya. Hingga tiga kali panggilan darinya tak kuhiraukan. Aku ingin dia tahu, bahwa aku kecewa.



Posting Komentar

 
Top