0


Seorang lelaki bernama Firman bergelar sarjana agama, menjadi penjaga masjid Al Mukhlisin yang berada tidak jauh dari rumahku. Tugasnya membersihkan masjid dan lingkungan sekitarnya, selain itu dia juga mengajar ngaji di masjid sekaligus bertugas sebagai muadzin. Dengan logat sundanya yang kental, rajin bekerja, ramah dengan siapa saja. Seperti biasanya, kegiatan kebersihan bersama warga yang tinggal di sekitar lingkungan masjid, dilakukan pada hari jumat. Bapak-bapak membantu memangkas pohon-pohon di masjid, menata taman, membersihkan pelafon masjid, sementara ibu-ibu mencuci mukena, menyapu dan mengepel lantai masjid. Rutinitas ini berlangsung pada hari jumat minggu pertama tiap bulan.
“Rahmi, kemari nak, ada yang ingin bunda bicarakan” suara bundaku terdengar dari ruang makan.
“Iya bunda, rahmi segera ke sana” jawabku
Ku rapikan, buku-buku pelajaranku, keluar dari kamar menuju ruang makan yang terletak di samping pintu kamarku. Kutemui bunda yang sedang mengaduk teh panas. Kutarik kursi makan, dan mengambil tempat bersebelahan dengan bunda.
“Rahmi, berapa usiamu sekarang nak?, kapan kamu akan menikah?” Tanya bundaku membuka percakapan. Dipandanginya wajahku sambil tersenyum.
“Entah kapan Rahmi menikah bun. Yang pasti belum ada jodoh bun” jawabku sambil menghela napas.
“Kalau bunda punya calon, kamu bersedia nggak menikah dengannya?” Tanya bunda, memegangi tangan kananku sembari mendekatkan posisi duduknya ke arahku.
“Rahmi mau menikmati pekerjaan ini dulu bun” jawabku.
“Jangan terlena nak, seorang wanita seharusnya sudah mulai was-was, jika umurnya sudah memasuki kepala tiga” jawab bundaku.
“Memangnya siapa bun?” tanyaku dengan nada penasaran.
“Firman, penjaga masjid kita nak. Jawab bundaku.
“Firman bun?” kini aku yang kaget.
“Bunda memilihkan Firman untukmu dengan beberapa alasan nak. Firman itu orangnya ganteng, ramah, rajin bekerja, dan sholeh. Bagaimana menurutmu?”
“Beri Rahmi waktu untuk berpikir ya bun. Jawabku.
Singkat cerita, aku menerima perjodohan ini. Kamipun menikah dengan adat Padang. Di awal-awal pernikahan kami hidup bahagia. Hingga aku melahirkan putera pertama, kami masih merasakan manisnya hidup berumah tangga. Selang dua tahun aku mengandung anak kedua. Aku melahirkan anak perempuan.
Setelah melahirkan anak perempuan, di mana masa pernikahan kami menjelang empat tahun, mulai terjadi hal di luar dugaanku. Suamiku ternyata seorang pecemburu. pernah dia cemburu kepada teman laki-laki di tempat kerjaku. Permasalahnnya sepele, ketika suami menjemputku di sekolah. Kami sedang menyelesaikan anak-anak yang sedang berkelahi, kebetulan kami berdua adalah guru piket pada hari itu. Suamiku menuduh aku selingkuh dengan teman sekerjaku tersebut. Terkadang dia mulai ringan tangan, jika sedang cemburu dia akan memukuliku hingga memar. Tidak hanya sekali dia memukuliku, sering dia lakukan jika sedang cemburu. Diapun tidak hanya cemburu dengan teman laki-laki, namun juga cemburu dengan teman wanitaku bahkan keluargaku. Dia menuduhku menaruh hati dengan adik iparku yang laki-laki. Memar pipiku dipukulnya menggunakan sendok. Aku selalu menutupi kejadian ini dari keluargaku. Dia mulai membatasi retensiku untuk mengunjungi keluargaku. Kerap mendapat perlakuan kasar, akupun sudah tidak sanggup lagi bertahan. Aku memutuskan pulang ke rumah orang tuaku tanpa sepengetahuannya. Ku bawa kedua anakku.
Puncaknya siang itu, dia datang ke rumah orang tuaku. Dia membawa sesuatu di motornya.
“Rahmi...ayo pulang” teriaknya dengan keras di depan pagar rumah orang tuaku.
Mendengar suaranya yang keras, aku dan bundaku keluar, tetangga juga banyak yang keluar, ingin menyaksikan apa yang terjadi.
“Firman, masuk dulu ke rumah, kita bicara di dalam saja nak” Bujuk bundaku dengan lembut.
Namun suamiku tidak menggubrisnya, dia pergi menuju motor nya, mengambil botol aqua berukuran 1200 ml yang berisi cairan agak kuning pucat.
“Kalau kamu tidak mau ikut bersamaku, lebih baik kita mati berdua” ucapnya berteriak sembari mengguyuri tubuhnya dengan air yang terdapat di dalam botol tersebut, kemudian menyiram cairan tersebut ke arah ku dan juga mengenai bundaku. Belum hilang kagetku. Tetangga yang sedang menyaksikan, berteriak kencang.
“Awas, firman menyiramkan bensin” ujar pak Dani.
“Kamu sudah gila ya Firman, kalau kamu mau mati, mati saja sendiri” sahut ayahku, yang berjalan menuju halaman.
“Biarkan kami berdua mati ayah, tidak ada yang bisa memisahkan kami. Ayah jangan mendekat” ucapnya, sambil merogoh kantongnya.
“Tidaaak, jangan lakukan” jawabku berteriak ketakutan.
Ayah dan tetangga yang lain, telah bersiap-siap menanti kemungkinan terburuk yang akan dilakukannya. Tak diduga, dia menyalakan koreknya, membakar tubuhnya sambil berlari ke arahku.
“Rahmi, matilah bersamaku” teriaknya.
Keadaan menjadi riuh, dia mengejarku dengan tubuh yang menyala, mengenai bundaku. aku ketakutan berlari ke dalam rumah. Melihat kejadian di halaman dari balik kaca jendela. Aku gemetaran. Anak-anak berlarian memelukku, mereka menangis ketakutan. Ayahku dan beberapa tetangga berusaha mematikan api yang menyala di baju bundaku, akibat tersambar api darinya. Sementara tetangga yang lain mendorong suamiku menjauhi rumah. Karena banyak percikan bensin di teras rumah orang tuaku. Kejadiannya begitu cepat, aku masih gemetaran. Ku saksikan dari jauh, tetangga berusaha mematikan api yang membakar tubuh suamiku. Dan membawanya ke rumah sakit. Bundakupun di bawa ke rumah sakit yang sama, karena mengalami luka bakar di beberapa bagian tubuhnya.
Aku shock atas kejadian yang baru saja ku alami, aku masih saja menangis, adik-adikku berusaha menenangkanku. Aku mendapat kabar kalau bundaku mengalami luka bakar yang tidak terlalu serius. Sedangkan suamiku mengalami luka bakar parah, dia di rawat di ruang ICCU. Setelah dua hari di rawat di sana, dan tidak sadarkan diri. Akhirnya aku beranikan diri untuk menjenguknya di rumah sakit. Ku temui tubuh suamiku telah terbungkus perban, dengan luka bakar yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, menyebabkan dia dalam keadaan kritis. Setelah delapan hari di rawat, akhirnya suamiku menghembuskan napasnya yang terakhir. Aku begitu terpukul dengan kejadian ini. Anak-anakku yang masih kecil-kecil, harus mengalami kenyataan pahit ini. Entah sampai kapan kejadian ini membayangiku. Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya bernasib seperti ini.

Posting Komentar

 
Top