Seorang lelaki bernama
Firman bergelar sarjana agama, menjadi penjaga masjid Al Mukhlisin yang berada
tidak jauh dari rumahku. Tugasnya membersihkan masjid dan lingkungan sekitarnya,
selain itu dia juga mengajar ngaji di masjid sekaligus bertugas sebagai
muadzin. Dengan logat sundanya yang kental, rajin bekerja, ramah dengan siapa
saja. Seperti biasanya, kegiatan kebersihan bersama warga yang tinggal di
sekitar lingkungan masjid, dilakukan pada hari jumat. Bapak-bapak membantu
memangkas pohon-pohon di masjid, menata taman, membersihkan pelafon masjid,
sementara ibu-ibu mencuci mukena, menyapu dan mengepel lantai masjid. Rutinitas
ini berlangsung pada hari jumat minggu pertama tiap bulan.
“Rahmi, kemari nak, ada yang ingin bunda
bicarakan” suara bundaku terdengar dari ruang makan.
“Iya bunda, rahmi segera ke sana”
jawabku
Ku rapikan, buku-buku
pelajaranku, keluar dari kamar menuju ruang makan yang terletak di samping
pintu kamarku. Kutemui bunda yang sedang mengaduk teh panas. Kutarik kursi
makan, dan mengambil tempat bersebelahan dengan bunda.
“Rahmi, berapa usiamu sekarang nak?,
kapan kamu akan menikah?” Tanya bundaku membuka percakapan. Dipandanginya
wajahku sambil tersenyum.
“Entah kapan Rahmi menikah bun. Yang
pasti belum ada jodoh bun” jawabku sambil menghela napas.
“Kalau bunda punya calon, kamu bersedia
nggak menikah dengannya?” Tanya bunda, memegangi tangan kananku sembari
mendekatkan posisi duduknya ke arahku.
“Rahmi mau menikmati pekerjaan ini dulu
bun” jawabku.
“Jangan terlena nak, seorang wanita
seharusnya sudah mulai was-was, jika umurnya sudah memasuki kepala tiga” jawab
bundaku.
“Memangnya siapa bun?” tanyaku dengan
nada penasaran.
“Firman, penjaga masjid kita nak. Jawab
bundaku.
“Firman bun?” kini aku yang kaget.
“Bunda memilihkan Firman untukmu dengan
beberapa alasan nak. Firman itu orangnya ganteng, ramah, rajin bekerja, dan
sholeh. Bagaimana menurutmu?”
“Beri Rahmi waktu untuk berpikir ya bun.
Jawabku.
Singkat
cerita, aku menerima perjodohan ini. Kamipun menikah dengan adat Padang. Di
awal-awal pernikahan kami hidup bahagia. Hingga aku melahirkan putera pertama,
kami masih merasakan manisnya hidup berumah tangga. Selang dua tahun aku
mengandung anak kedua. Aku melahirkan anak perempuan.
Setelah
melahirkan anak perempuan, di mana masa pernikahan kami menjelang empat tahun,
mulai terjadi hal di luar dugaanku. Suamiku ternyata seorang pecemburu. pernah
dia cemburu kepada teman laki-laki di tempat kerjaku. Permasalahnnya sepele,
ketika suami menjemputku di sekolah. Kami sedang menyelesaikan anak-anak yang
sedang berkelahi, kebetulan kami berdua adalah guru piket pada hari itu.
Suamiku menuduh aku selingkuh dengan teman sekerjaku tersebut. Terkadang dia
mulai ringan tangan, jika sedang cemburu dia akan memukuliku hingga memar.
Tidak hanya sekali dia memukuliku, sering dia lakukan jika sedang cemburu.
Diapun tidak hanya cemburu dengan teman laki-laki, namun juga cemburu dengan
teman wanitaku bahkan keluargaku. Dia menuduhku menaruh hati dengan adik iparku
yang laki-laki. Memar pipiku dipukulnya menggunakan sendok. Aku selalu menutupi
kejadian ini dari keluargaku. Dia mulai membatasi retensiku untuk mengunjungi
keluargaku. Kerap mendapat perlakuan kasar, akupun sudah tidak sanggup lagi
bertahan. Aku memutuskan pulang ke rumah orang tuaku tanpa sepengetahuannya. Ku
bawa kedua anakku.
Puncaknya
siang itu, dia datang ke rumah orang tuaku. Dia membawa sesuatu di motornya.
“Rahmi...ayo pulang”
teriaknya dengan keras di depan pagar rumah orang tuaku.
Mendengar suaranya yang
keras, aku dan bundaku keluar, tetangga juga banyak yang keluar, ingin
menyaksikan apa yang terjadi.
“Firman, masuk dulu ke
rumah, kita bicara di dalam saja nak” Bujuk bundaku dengan lembut.
Namun suamiku tidak
menggubrisnya, dia pergi menuju motor nya, mengambil botol aqua berukuran 1200
ml yang berisi cairan agak kuning pucat.
“Kalau kamu tidak mau
ikut bersamaku, lebih baik kita mati berdua” ucapnya berteriak sembari
mengguyuri tubuhnya dengan air yang terdapat di dalam botol tersebut, kemudian
menyiram cairan tersebut ke arah ku dan juga mengenai bundaku. Belum hilang
kagetku. Tetangga yang sedang menyaksikan, berteriak kencang.
“Awas, firman
menyiramkan bensin” ujar pak Dani.
“Kamu sudah gila ya
Firman, kalau kamu mau mati, mati saja sendiri” sahut ayahku, yang berjalan
menuju halaman.
“Biarkan kami berdua
mati ayah, tidak ada yang bisa memisahkan kami. Ayah jangan mendekat” ucapnya,
sambil merogoh kantongnya.
“Tidaaak, jangan
lakukan” jawabku berteriak ketakutan.
Ayah
dan tetangga yang lain, telah bersiap-siap menanti kemungkinan terburuk yang
akan dilakukannya. Tak diduga, dia menyalakan koreknya, membakar tubuhnya
sambil berlari ke arahku.
“Rahmi, matilah
bersamaku” teriaknya.
Keadaan menjadi riuh,
dia mengejarku dengan tubuh yang menyala, mengenai bundaku. aku ketakutan
berlari ke dalam rumah. Melihat kejadian di halaman dari balik kaca jendela.
Aku gemetaran. Anak-anak berlarian memelukku, mereka menangis ketakutan. Ayahku
dan beberapa tetangga berusaha mematikan api yang menyala di baju bundaku,
akibat tersambar api darinya. Sementara tetangga yang lain mendorong suamiku
menjauhi rumah. Karena banyak percikan bensin di teras rumah orang tuaku.
Kejadiannya begitu cepat, aku masih gemetaran. Ku saksikan dari jauh, tetangga
berusaha mematikan api yang membakar tubuh suamiku. Dan membawanya ke rumah
sakit. Bundakupun di bawa ke rumah sakit yang sama, karena mengalami luka bakar
di beberapa bagian tubuhnya.
Aku
shock atas kejadian yang baru saja ku
alami, aku masih saja menangis, adik-adikku berusaha menenangkanku. Aku
mendapat kabar kalau bundaku mengalami luka bakar yang tidak terlalu serius.
Sedangkan suamiku mengalami luka bakar parah, dia di rawat di ruang ICCU. Setelah
dua hari di rawat di sana, dan tidak sadarkan diri. Akhirnya aku beranikan diri
untuk menjenguknya di rumah sakit. Ku temui tubuh suamiku telah terbungkus
perban, dengan luka bakar yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, menyebabkan
dia dalam keadaan kritis. Setelah delapan hari di rawat, akhirnya suamiku
menghembuskan napasnya yang terakhir. Aku begitu terpukul dengan kejadian ini.
Anak-anakku yang masih kecil-kecil, harus mengalami kenyataan pahit ini. Entah
sampai kapan kejadian ini membayangiku. Tak pernah terpikirkan olehku
sebelumnya bernasib seperti ini.
Posting Komentar