Awalnya
berat bagi kami menjalankan kehidupan ini tanpa ayah, namun seiring waktu kami
dapat menghapus kesedihan ditinggal ayah yang telah dipanggil sang khalik. Kini
telah empat tahun semenjak kepergian ayah, kehidupan kami kembali berjalan
normal.
Aku
anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adikku semuanya perempuan. Aku
satu-satunya anak laki-laki. Kakakku sedang menyelesaikan kuliah magisternya di
Jakarta, sementara adikku baru duduk di kelas sepuluh pesantren yang terletak
di salah satu kabupaten yang ada di provinsiku. Aku adalah seorang polisi yang
bertugas di ibukota provinsi. Sedangkan bundaku tetap tinggal di rumah kami di
salah satu kabupaten di provinsiku. Jadi kami berempat terpisah di tempat yang
berbeda. Aku, bunda dan adikku, walaupun berada di satu provinsi, namun
berlainan kabupaten. Komunikasi yang kami jalin, hanya lewat ponsel. Sesekali
aku pulang ke rumah menjenguk bundaku.
Malam
Sabtu ini aku mencoba menelepon bundaku, aku ingin mengabarkan kalau minggu
besok, aku tidak pulang, dikarenakan ada urusan dinas. Ku pilih di log
panggilan, ku coba menghubungi, namun nomornya tidak aktif. Kucoba hingga tiga
kali, namun tetap sama. Aku pikir mungkin bundaku lupa mencharge ponselnya. Keesokan harinya, aku melakukan tugasku selama
tiga hari hingga hari Senin.
Aku
begitu lelah, setelah magrib aku baru tiba di kostanku. Suasananya agak
lengang. Kuparkirkan motor di garasi, menuju ke lantai dua. Ku rebahkan tubuh
di kasur yang hanya berukuran 120x200 cm dibalut sprei warna coklat. Kurogoh
saku celana, mengambil ponsel, mencoba menelepon bundaku. Aku heran, nomor
bundaku masih juga tidak aktif. Aku mencoba menghubungi temanku, Habib. Teman
karibku yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Habib berperawakan kurus tinggi,
berkulit sawo matang, kumis tipis tersusun rapi di bawah hidungnya yang mancung.
Dia seorang guru, yang telah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Ku
pilih kontak di buku alamat, “sohibku habib” ku tekan nomornya. Dia menolak
panggilanku. Kucoba untuk kedua kalinya, akhirnya diangkat oleh Habib.
“Assalamualaikum, lagi
di mana bib?” tanyaku.
“Waalaikumussalam, sedang di masjid Man”
jawabnya ramah.
“Di masjid? Sekalian nunggu isya ya?”
tanyaku.
“Iya, Man. Ada apa?” tanyanya.
“Aku mau minta tolong Bib. Kamu ke
rumahku sebentar ya. Tolong lihat bundaku ada nggak di rumah. Sebab sejak Sabtu
kemarin, ponselnya tidak dapat dihubungi” pintaku.
“Iya, nanti aku mampir ke sana. Tapi
setelah selesai shalat isya ya” sahutnya.
“Iya, nggak apa-apa” jawabku mengakhiri
telepon.
Aku tersentak dari
tidurku, ketika ponselku berdering. Kulihat di layar ponsel, oh Habib
meneleponku. Ternyata aku ketiduran. Sambil mengucek mata, kulirik jam di
dinding pukul 20.30 wib. Oh..sudah satu jam lebih aku tertidur. Kuangkat
teleponku, sambil masih rebahan.
“Assalamualaikum,
Firman, kamu harus segera pulang” ucap Habib, dengan nada terburu-buru.
“Waalaikumussalam, ada apa bib?” jawabku
heran.
“Nanti aku hubungi lagi, kamu segera
pulang sekarang” jawabnya sambil mematikan ponsel.
Aku penasaran apa yang terjadi, aku
langsung menghubunginya kembali.
“Bib, ada apa? Apa yang terjadi? Kamu
sudah ke rumah bundaku? Aku mencercanya dengan banyak pertanyaan, tanpa memberi
waktu untuk menjawabnya.
“pulanglah cepat man” jawabnya.
“Ada apa man? Jawab aku” sahutku dengan
nada tinggi.
“kamu yang sabar ya. Bundamu ditemukan
tewas, dan telah membusuk” jawabnya.
“Apa? Innalillahi.” Aku melompat dari
tidurku, ponselku terlepas.
“Ya Allah” teriakku keras. Tidak kuhiraukan
lagi suara habib di ujung telepon.
Masih sambil menangis dan terus
mengucap, dengan cekatan aku mengganti pakaian dinasku.
Aku duduk kembali di kasur mengambil
ponsel. Mencoba menghubungi kakakku.
“Mbak, segera cari penerbangan. Kakak
pulang segera” ucapku tanpa mengucap salam lagi.
“Ada apa man? tanyanya dengan nada
kaget.
“Bunda telah meninggal mbak” jawabku, ku
dengar tangisnya tumpah histeris.
“Kapan Man? Ya Allah ampuni dosa
bundaku” tanyanya sambil menangis.
“Barusan mbak. Mbak sabar dan tenang ya.
Jam segini sudah tidak ada lagi pesawat. Mbak pesan pesawat pagi besok. Aku
akan menjemput Nabila” jawabku.
Kumatikan ponsel, tanpa
menunggu jawaban dari mbakku. Tak kuhiraukan lagi panggilan masuk darinya. Aku
bersiap untuk segera berangkat. Sementara di luar kamarku, beberapa penghuni
kostan terdengar ribut di luar, mungkin mereka mendengar teriakanku tadi. Aku
membuka pintu kamar.
“Ada apa bang?’ Tanya mereka hampir
berbarengan.
“Bundaku barusan meninggal” jawabku.
“Innalillahi wa inna illaihi raajiun”
jawab mereka sambil menarik napas dalam.
“Bang, aku ikut”. Pinta Amar. Penghuni
di samping kiri kamarku.
“Tapi abang mau menjemput adik dulu di
pondok.” Jawabku.
“Iya bang, nggak apa-apa. aku temani” jawabanya.
“Bang yang sabar ya, aku belum bisa
ikut. Besok aku seminar proposal. Tapi insyaallah besok sore aku menyusul”
Sahut Amri dengan sedih.
“aku juga bang” sahut yang lain.
“Tidak apa-apa, tolong doakan bunda
abang yah”
“Iya bang, hati-hati di jalan. Jangan
ngebut” ucap mereka menasehati.
Kami bergegas menuju
garasi, aku dan Amar mengendarai motor yang berbeda. Butuh waktu dua jam untuk
menempuh jarak menuju pesantren adikku. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan
tinggi. Tak kuhiraukan lagi apakah Amar berada di belakangku atau tidak. Akhirnya
tiba juga aku di gerbang pondok pesantren Nurul Fikri. Setelah meminta izin
dengan satpam, aku diperbolehkan memasuki pelataran. Aku di antar menuju ruang
tunggu, dan mengisi buku izin. Sementara ada petugas yang memanggil adikku. Tak
lama kulihat Amar juga telah masuk ke pelataran parkir.
Aku duduk menunggu
ditemani Amar. Sekitar lima menit akhirnya adikku tiba ditemani ustadzahnya.
Dengan senyum yang terkembang, dia menyapaku.
“Assalamualaikum mas”
sapanya sambil mencium tanganku. Dan menoleh ke arah Amar sambil tersenyum.
Adikku telah mengenal Amar.
“Dik, kita harus pulang
sekarang ya. Tadi mas sudah izin sama wali perizinan” jawabku menahan tangis,
agar tidak tumpah di depan adikku.
“Ada apa mas dengan
bunda? Ada apa? Jawabnya penasaran, sambil mengguncang-guncangkan tanganku.
“Bunda sakit dik, kita
harus segera pulang” aku berbohong. Aku takut, adikku pingsan jika mengetahui
bunda telah tiada. Karena adikku begitu dekat dengan bunda.
“Sebentar ya mas, Nabil
ambil tas dulu di kamar” aku mengangguk.
Tak
lama kemudian, Nabila telah muncul. Kami berpamitan dan segera berangkat. Aku
membonceng adikku, pulang menuju rumah. Sementara Amar mengikuti dari belakang.
butuh waktu satu setengah jam dari pondok menuju rumahku. Kupacu dengan cepat.
Aku berharap segera sampai di rumah. Pikiran ku berkecamuk, masih terbayang
kata-kata Habib, bundakku telah meninggal dan membusuk. Apakah sejak malam
Sabtu bundaku telah meninggal, dan baru ketahuan mala mini? Ahh aku tidak mau
menebak-nebak.
Akhirnya
kami tiba juga, aku heran kenapa banyak tetangga yang berkerumun di rumahku.
Adikku langsung menangis, dia sudah menebak pasti bundanya telah tiada. Pada
saat memasuki halaman, banyak tetangga yang mengusap-usap punggungku
menyabarkanku. Aku mulai menangis, adikku pun menangis dengan kencang. Begitu
memasuki rumah, ku lihat banyak polisi.
“Ada apa pak? Tanyaku
sembari menuju ke dalam.
Adikku
langsung histeris, begitu sampai ke ruang tamu, menuju pintu ruang keluarga
yang menuruni tiga anak tangga, akupun terperanjat. Langsung kupeluk adikku,
yang tak lama pingsan. Aku di bantu beberapa tetangga, menggotong tubuh adikku
menuju kamarnya. Ku tinggalkan ia di sana. Aku keluar, sambil menangis, ku
lihat mayat bundaku tergeletak di samping tangga, bau busuk menyengat. Wajah cantik
bundaku sebagian telah tertutupi dengan darah yang telah menghitam, masih
terlihat sisa make-up yang masih menempel. Banyak darah berceceran di lantai
sekitar tubuh bundaku. Ada juga bercak darah di dinding dekat pintu yang
menghubungkan ruang keluarga dengan garasi. Habib berusaha menenangkanku, yang
juga ikut menangis di sampingku. Aku belum bisa berbuat apa-apa, karena aparat
kepolisian sedang mengidentifikasi mayat bundaku. Dugaan sementara bundaku
korban pembunuhan.
Kulihat
di layar ponsel, panggilan tak terjawab 28 kali. Sepertinya mbak meneleponku,
selama aku di perjalanan tadi. Ku coba menghubunginya kembali.
“Mbak, sudah dapat
tiketnya? Tanyaku dengan suara serak.
“Iya, mbak pulang besok
pagi, pukul 06.00 wib bagaimana bunda? Koq suaranya ribut sekali di rumah?
Tanyanya, dengan suara isak tangis.
“biasa aja mbak, banyak
tetangga yang berkunjung” ucapku. Aku tidak mau memberi tahu kejadian
sebenarnya, takut pikirannya menjadi kalut.
“Nabila mana?
Lanjutnya.
“Pingsan mbak, ada di
kamar ditemani tante. Ya sudah mbak, nanti aku hubungi lagi ya” sahutku,
sembari mengakhiri telepon.
Sudah
pukul 00.12 wib, tetangga sudah banyak yang pulang, namun masih banyak juga
yang berada di rumahku. Mereka masih memperbincangkan kematian bundaku. Aku
menuju kamar adikku, kulihat dia masih belum siuman, entah untuk ke berapa
kalinya dia pingsan. Aku duduk di sampingnya, ku tatap wajahnya yang memerah,
matanya yang bengkak. Dia terlihat begitu kuyu. Kini kami bertiga telah menjadi
yatim piatu. Kasihan sekali adikku, walaupun aku juga tidak bisa menerima
kenyataan ini. Kuusap keningnya, sambil memanggilnya dengan lembut.
“Nabil, bil, bangun
sayang” ucapku, sambil tetap mengusap-usap kepala dan wajahnya. Ku gerakkan
bahunya sambil terus memanggil namanya. Berharap dia segera siuman. Tak lama
kemudian dia siuman. Matanya mulai membuka, memandang ke arahku. Dia bangkit
dari tidurnya, memelukku erat-erat sambil menangis kencang.
“Bunda mas, bunda.
Nabil ngak punya bunda lagi mas” ucapnya sambil meraung keras.
Aku hanya bisa menangis
sambil memeluknya. Tak ada kata yang keluar.
“Sssstt. Sssstt. Sssstt.”
aku berusaha menenangkannya. Dia tetap menangis.
“Siapa yang tega
membunuh bunda mas? Tangisnya yang hilang timbul sambil sesegukkan. Aku
merasakan kesedihannya yang mendalam.
“Kita berdoa, semoga
bunda khusnul khatimah ya. Nabil mau duduk dekat bunda?” tanyaku.
Dia hanya mengangguk. Ku
bimbing dia turun dari ranjangnya, menuju ruang keluarga, di mana bundaku
dibaringkan. Darah yang tadi berceceran telah dibersihkan. Sanak keluarga dan
beberapa orang tetangga masih berkumpul di sana. Adikku menangis histeris, ku
peganggi tubuhnya yang mulai limbung. Adikku pingsan lagi, begitu dalam
kesedihan yang kami rasakan. Dibantu kerabatku, aku membawa adikku kembali ke
kamarnya.
Aku
begitu lelah, namun mataku tak bisa terpejam. Aku berada di samping jenazah
bundaku. Selalu kupanjatkan doa-doa, memohon ampunan untuk bundaku. Hari
menjelang pagi, aku telah meminta pertolongan pamanku yang tinggal di ibukota
provinsi untuk menjemput mbakku di bandara. Sementara aku beserta kerabat
sibuk, menyiapkan semua yang diperlukan untuk memandikan dan mengkafani jenazah
bundaku. Aku membimbing adikku untuk ikut memandikan jenazah bundaku, adikku
hampir pingsan lagi, aku menguatkannya, ini terakhir kalinya kami bertemu
bunda. Kami ingin menemani bunda hingga nanti mengantarkannya ke liang lahat. Setelah
mengkafani jenazah bunda, kami duduk di samping bunda sembari menunggu
kedatangan mbakku.
Sekitar
pukul sebelas siang, mbakku tiba di rumah. Tangis kembali pecah di ruang
keluarga, semua ikut menangis, adikku kembali pingsan. Mbakku teriak histeris,
begitu mengetahui kalau bunda korban pembunuhan. Dia begitu marah, dia
memintaku berjanji untuk mengungkap kematian bunda dan menangkap pelakunya.
Sanak keluarga berusaha menenangkan kami. Menjelang shalat dhuhur, kami beserta
semua yang hadir berangkat menuju masjid yang hanya berjarak sepuluh meter dari
rumahku. Kami menunaikan shalat dhuhur, dilanjutkan dengan shalat jenazah.
Kemudian kami berangkat menuju pemakaman.
Di
pemakaman, aku turun langsung, memakamkan bundaku. Aku ingin mengantarkan untuk
terakhir kalinya. Mbak dan adikku kembali menangis histeris, begitu jenazah
dimasukkan ke liang lahat. Ku lihat, adikku telah pingsan lagi. Aku ikut
membantu pemakaman hingga selesai. Kini saatnya kami membaca doa bersama yang
dipimpin imam masjid. Setelah selesai, tetangga, teman dan kerabat, mulai
pulang. Namun kami dan kerabat dekat masih tak bergeming di depan makam
bundaku. Kami enggan meninggalkan bunda yang mungkin telah beristirahat dengan
tenang. Kupanjatkan lagi doa untuk bundaku. Mungkin kami akan larut dalam
kesedihan ini, semoga tidak berlarut-larut.
Posting Komentar