0


Awalnya berat bagi kami menjalankan kehidupan ini tanpa ayah, namun seiring waktu kami dapat menghapus kesedihan ditinggal ayah yang telah dipanggil sang khalik. Kini telah empat tahun semenjak kepergian ayah, kehidupan kami kembali berjalan normal.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adikku semuanya perempuan. Aku satu-satunya anak laki-laki. Kakakku sedang menyelesaikan kuliah magisternya di Jakarta, sementara adikku baru duduk di kelas sepuluh pesantren yang terletak di salah satu kabupaten yang ada di provinsiku. Aku adalah seorang polisi yang bertugas di ibukota provinsi. Sedangkan bundaku tetap tinggal di rumah kami di salah satu kabupaten di provinsiku. Jadi kami berempat terpisah di tempat yang berbeda. Aku, bunda dan adikku, walaupun berada di satu provinsi, namun berlainan kabupaten. Komunikasi yang kami jalin, hanya lewat ponsel. Sesekali aku pulang ke rumah menjenguk bundaku.
Malam Sabtu ini aku mencoba menelepon bundaku, aku ingin mengabarkan kalau minggu besok, aku tidak pulang, dikarenakan ada urusan dinas. Ku pilih di log panggilan, ku coba menghubungi, namun nomornya tidak aktif. Kucoba hingga tiga kali, namun tetap sama. Aku pikir mungkin bundaku lupa mencharge ponselnya. Keesokan harinya, aku melakukan tugasku selama tiga hari hingga hari Senin.
Aku begitu lelah, setelah magrib aku baru tiba di kostanku. Suasananya agak lengang. Kuparkirkan motor di garasi, menuju ke lantai dua. Ku rebahkan tubuh di kasur yang hanya berukuran 120x200 cm dibalut sprei warna coklat. Kurogoh saku celana, mengambil ponsel, mencoba menelepon bundaku. Aku heran, nomor bundaku masih juga tidak aktif. Aku mencoba menghubungi temanku, Habib. Teman karibku yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Habib berperawakan kurus tinggi, berkulit sawo matang, kumis tipis tersusun rapi di bawah hidungnya yang mancung. Dia seorang guru, yang telah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Ku pilih kontak di buku alamat, “sohibku habib” ku tekan nomornya. Dia menolak panggilanku. Kucoba untuk kedua kalinya, akhirnya diangkat oleh Habib.
“Assalamualaikum, lagi di mana bib?” tanyaku.
“Waalaikumussalam, sedang di masjid Man” jawabnya ramah.
“Di masjid? Sekalian nunggu isya ya?” tanyaku.
“Iya, Man. Ada apa?” tanyanya.
“Aku mau minta tolong Bib. Kamu ke rumahku sebentar ya. Tolong lihat bundaku ada nggak di rumah. Sebab sejak Sabtu kemarin, ponselnya tidak dapat dihubungi” pintaku.
“Iya, nanti aku mampir ke sana. Tapi setelah selesai shalat isya ya” sahutnya.
“Iya, nggak apa-apa” jawabku mengakhiri telepon.
Aku tersentak dari tidurku, ketika ponselku berdering. Kulihat di layar ponsel, oh Habib meneleponku. Ternyata aku ketiduran. Sambil mengucek mata, kulirik jam di dinding pukul 20.30 wib. Oh..sudah satu jam lebih aku tertidur. Kuangkat teleponku, sambil masih rebahan.
“Assalamualaikum, Firman, kamu harus segera pulang” ucap Habib, dengan nada terburu-buru.
“Waalaikumussalam, ada apa bib?” jawabku heran.
“Nanti aku hubungi lagi, kamu segera pulang sekarang” jawabnya sambil mematikan ponsel.
Aku penasaran apa yang terjadi, aku langsung menghubunginya kembali.
“Bib, ada apa? Apa yang terjadi? Kamu sudah ke rumah bundaku? Aku mencercanya dengan banyak pertanyaan, tanpa memberi waktu untuk menjawabnya.
“pulanglah cepat man” jawabnya.
“Ada apa man? Jawab aku” sahutku dengan nada tinggi.
“kamu yang sabar ya. Bundamu ditemukan tewas, dan telah membusuk” jawabnya.
“Apa? Innalillahi.” Aku melompat dari tidurku, ponselku terlepas.
“Ya Allah” teriakku keras. Tidak kuhiraukan lagi suara habib di ujung telepon.
Masih sambil menangis dan terus mengucap, dengan cekatan aku mengganti pakaian dinasku.
Aku duduk kembali di kasur mengambil ponsel. Mencoba menghubungi kakakku.
“Mbak, segera cari penerbangan. Kakak pulang segera” ucapku tanpa mengucap salam lagi. 
“Ada apa man? tanyanya dengan nada kaget.
“Bunda telah meninggal mbak” jawabku, ku dengar tangisnya tumpah histeris.
“Kapan Man? Ya Allah ampuni dosa bundaku” tanyanya sambil menangis.
“Barusan mbak. Mbak sabar dan tenang ya. Jam segini sudah tidak ada lagi pesawat. Mbak pesan pesawat pagi besok. Aku akan menjemput Nabila” jawabku.
Kumatikan ponsel, tanpa menunggu jawaban dari mbakku. Tak kuhiraukan lagi panggilan masuk darinya. Aku bersiap untuk segera berangkat. Sementara di luar kamarku, beberapa penghuni kostan terdengar ribut di luar, mungkin mereka mendengar teriakanku tadi. Aku membuka pintu kamar.
“Ada apa bang?’ Tanya mereka hampir berbarengan.
“Bundaku barusan meninggal” jawabku.
“Innalillahi wa inna illaihi raajiun” jawab mereka sambil menarik napas dalam.
“Bang, aku ikut”. Pinta Amar. Penghuni di samping kiri kamarku.
“Tapi abang mau menjemput adik dulu di pondok.” Jawabku.
“Iya bang, nggak apa-apa. aku temani” jawabanya.
“Bang yang sabar ya, aku belum bisa ikut. Besok aku seminar proposal. Tapi insyaallah besok sore aku menyusul” Sahut Amri dengan sedih.
“aku juga bang” sahut yang lain.
“Tidak apa-apa, tolong doakan bunda abang yah”
“Iya bang, hati-hati di jalan. Jangan ngebut” ucap mereka menasehati.
Kami bergegas menuju garasi, aku dan Amar mengendarai motor yang berbeda. Butuh waktu dua jam untuk menempuh jarak menuju pesantren adikku. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan tinggi. Tak kuhiraukan lagi apakah Amar berada di belakangku atau tidak. Akhirnya tiba juga aku di gerbang pondok pesantren Nurul Fikri. Setelah meminta izin dengan satpam, aku diperbolehkan memasuki pelataran. Aku di antar menuju ruang tunggu, dan mengisi buku izin. Sementara ada petugas yang memanggil adikku. Tak lama kulihat Amar juga telah masuk ke pelataran parkir.
Aku duduk menunggu ditemani Amar. Sekitar lima menit akhirnya adikku tiba ditemani ustadzahnya. Dengan senyum yang terkembang, dia menyapaku.
“Assalamualaikum mas” sapanya sambil mencium tanganku. Dan menoleh ke arah Amar sambil tersenyum. Adikku telah mengenal Amar.
“Dik, kita harus pulang sekarang ya. Tadi mas sudah izin sama wali perizinan” jawabku menahan tangis, agar tidak tumpah di depan adikku.
“Ada apa mas dengan bunda? Ada apa? Jawabnya penasaran, sambil mengguncang-guncangkan tanganku.
“Bunda sakit dik, kita harus segera pulang” aku berbohong. Aku takut, adikku pingsan jika mengetahui bunda telah tiada. Karena adikku begitu dekat dengan bunda.
“Sebentar ya mas, Nabil ambil tas dulu di kamar” aku mengangguk.
Tak lama kemudian, Nabila telah muncul. Kami berpamitan dan segera berangkat. Aku membonceng adikku, pulang menuju rumah. Sementara Amar mengikuti dari belakang. butuh waktu satu setengah jam dari pondok menuju rumahku. Kupacu dengan cepat. Aku berharap segera sampai di rumah. Pikiran ku berkecamuk, masih terbayang kata-kata Habib, bundakku telah meninggal dan membusuk. Apakah sejak malam Sabtu bundaku telah meninggal, dan baru ketahuan mala mini? Ahh aku tidak mau menebak-nebak.
Akhirnya kami tiba juga, aku heran kenapa banyak tetangga yang berkerumun di rumahku. Adikku langsung menangis, dia sudah menebak pasti bundanya telah tiada. Pada saat memasuki halaman, banyak tetangga yang mengusap-usap punggungku menyabarkanku. Aku mulai menangis, adikku pun menangis dengan kencang. Begitu memasuki rumah, ku lihat banyak polisi.
“Ada apa pak? Tanyaku sembari menuju ke dalam.
Adikku langsung histeris, begitu sampai ke ruang tamu, menuju pintu ruang keluarga yang menuruni tiga anak tangga, akupun terperanjat. Langsung kupeluk adikku, yang tak lama pingsan. Aku di bantu beberapa tetangga, menggotong tubuh adikku menuju kamarnya. Ku tinggalkan ia di sana. Aku keluar, sambil menangis, ku lihat mayat bundaku tergeletak di samping tangga, bau busuk menyengat. Wajah cantik bundaku sebagian telah tertutupi dengan darah yang telah menghitam, masih terlihat sisa make-up yang masih menempel. Banyak darah berceceran di lantai sekitar tubuh bundaku. Ada juga bercak darah di dinding dekat pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan garasi. Habib berusaha menenangkanku, yang juga ikut menangis di sampingku. Aku belum bisa berbuat apa-apa, karena aparat kepolisian sedang mengidentifikasi mayat bundaku. Dugaan sementara bundaku korban pembunuhan.
Kulihat di layar ponsel, panggilan tak terjawab 28 kali. Sepertinya mbak meneleponku, selama aku di perjalanan tadi. Ku coba menghubunginya kembali.
“Mbak, sudah dapat tiketnya? Tanyaku dengan suara serak.
“Iya, mbak pulang besok pagi, pukul 06.00 wib bagaimana bunda? Koq suaranya ribut sekali di rumah? Tanyanya, dengan suara isak tangis.
“biasa aja mbak, banyak tetangga yang berkunjung” ucapku. Aku tidak mau memberi tahu kejadian sebenarnya, takut pikirannya menjadi kalut.
“Nabila mana? Lanjutnya.
“Pingsan mbak, ada di kamar ditemani tante. Ya sudah mbak, nanti aku hubungi lagi ya” sahutku, sembari mengakhiri telepon.
Sudah pukul 00.12 wib, tetangga sudah banyak yang pulang, namun masih banyak juga yang berada di rumahku. Mereka masih memperbincangkan kematian bundaku. Aku menuju kamar adikku, kulihat dia masih belum siuman, entah untuk ke berapa kalinya dia pingsan. Aku duduk di sampingnya, ku tatap wajahnya yang memerah, matanya yang bengkak. Dia terlihat begitu kuyu. Kini kami bertiga telah menjadi yatim piatu. Kasihan sekali adikku, walaupun aku juga tidak bisa menerima kenyataan ini. Kuusap keningnya, sambil memanggilnya dengan lembut.
“Nabil, bil, bangun sayang” ucapku, sambil tetap mengusap-usap kepala dan wajahnya. Ku gerakkan bahunya sambil terus memanggil namanya. Berharap dia segera siuman. Tak lama kemudian dia siuman. Matanya mulai membuka, memandang ke arahku. Dia bangkit dari tidurnya, memelukku erat-erat sambil menangis kencang.
“Bunda mas, bunda. Nabil ngak punya bunda lagi mas” ucapnya sambil meraung keras.
Aku hanya bisa menangis sambil memeluknya. Tak ada kata yang keluar.
“Sssstt. Sssstt. Sssstt.” aku berusaha menenangkannya. Dia tetap menangis.
“Siapa yang tega membunuh bunda mas? Tangisnya yang hilang timbul sambil sesegukkan. Aku merasakan kesedihannya yang mendalam.
“Kita berdoa, semoga bunda khusnul khatimah ya. Nabil mau duduk dekat bunda?” tanyaku.
Dia hanya mengangguk. Ku bimbing dia turun dari ranjangnya, menuju ruang keluarga, di mana bundaku dibaringkan. Darah yang tadi berceceran telah dibersihkan. Sanak keluarga dan beberapa orang tetangga masih berkumpul di sana. Adikku menangis histeris, ku peganggi tubuhnya yang mulai limbung. Adikku pingsan lagi, begitu dalam kesedihan yang kami rasakan. Dibantu kerabatku, aku membawa adikku kembali ke kamarnya.
Aku begitu lelah, namun mataku tak bisa terpejam. Aku berada di samping jenazah bundaku. Selalu kupanjatkan doa-doa, memohon ampunan untuk bundaku. Hari menjelang pagi, aku telah meminta pertolongan pamanku yang tinggal di ibukota provinsi untuk menjemput mbakku di bandara. Sementara aku beserta kerabat sibuk, menyiapkan semua yang diperlukan untuk memandikan dan mengkafani jenazah bundaku. Aku membimbing adikku untuk ikut memandikan jenazah bundaku, adikku hampir pingsan lagi, aku menguatkannya, ini terakhir kalinya kami bertemu bunda. Kami ingin menemani bunda hingga nanti mengantarkannya ke liang lahat. Setelah mengkafani jenazah bunda, kami duduk di samping bunda sembari menunggu kedatangan mbakku.
Sekitar pukul sebelas siang, mbakku tiba di rumah. Tangis kembali pecah di ruang keluarga, semua ikut menangis, adikku kembali pingsan. Mbakku teriak histeris, begitu mengetahui kalau bunda korban pembunuhan. Dia begitu marah, dia memintaku berjanji untuk mengungkap kematian bunda dan menangkap pelakunya. Sanak keluarga berusaha menenangkan kami. Menjelang shalat dhuhur, kami beserta semua yang hadir berangkat menuju masjid yang hanya berjarak sepuluh meter dari rumahku. Kami menunaikan shalat dhuhur, dilanjutkan dengan shalat jenazah. Kemudian kami berangkat menuju pemakaman.
Di pemakaman, aku turun langsung, memakamkan bundaku. Aku ingin mengantarkan untuk terakhir kalinya. Mbak dan adikku kembali menangis histeris, begitu jenazah dimasukkan ke liang lahat. Ku lihat, adikku telah pingsan lagi. Aku ikut membantu pemakaman hingga selesai. Kini saatnya kami membaca doa bersama yang dipimpin imam masjid. Setelah selesai, tetangga, teman dan kerabat, mulai pulang. Namun kami dan kerabat dekat masih tak bergeming di depan makam bundaku. Kami enggan meninggalkan bunda yang mungkin telah beristirahat dengan tenang. Kupanjatkan lagi doa untuk bundaku. Mungkin kami akan larut dalam kesedihan ini, semoga tidak berlarut-larut. 






 
  


Posting Komentar

 
Top