0


Bergegas ku tunggangi sepeda motorku menuju ke arah timur. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 09.45 wib. "Ahh...aku hampir telat" Ku pacu semakin kencang. Hari ini ada kegiatan perpisahan anakku yang telah duduk di kelas enam. Selang sepuluh menit, tiba saatnya aku memasuki gerbang Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Darul Fikri. Ku ambil posisi parkir agak di tengah, yang berada tidak jauh dari tempat kegiatan. Kedatanganku disambut dengan senyuman dan sapaan hangat dari beberapa ustadzah di depan meja tamu. Aku tertegun sejenak melihat keindahan ini, mataku menatap ke sekeliling tenda. Seluruh ustadzah mengenakan atasan pink dipadu dengan bawahan berwarna abu-abu muda. Aku mengisi buku tamu, pada tempat yang telah disediakan. Setelah aku mengisi buku tamu, ustadzah Neli yang berada di balik meja tamu, memberikan kue kotak sembari tersenyum.
“Mari bu, saya antar” sambut ustadzah Wiwi, seraya mempersilahkanku memasuki tenda utama.
“Iya ustadzah, terima kasih” jawabku, sambil mengikuti langkahnya.
Aku memasuki tenda yang warnanya senada dengan seragam ustadzah. Kursi di bawah tenda ini dibagi menjadi tiga bagian. Barisan kursi sebelah kanan, diisi oleh tamu laki-laki, bagian tengah diisi oleh siswa-siswi kelas enam sedangkan sebelah kiri untuk tamu perempuan. Di bagian depan barisan kursi, terdapat tiga meja bundar berbungkus apik kain berwarna putih diselingi pink. Tempat tersebut disediakan untuk tamu-tamu penting yang akan menghadiri kegiatan ini. Di seberang meja bundar, terdapat panggung berukuran lima belas meter, tempat berlangsungnya acara beserta pagelarannya. Kupilih tempat duduk sebelah kiri baris ketiga dari depan, berharap dapat dengan leluasa menikmati acaranya.
“Duduk di depan saja bu. Diisi dulu kursi barisan depan bu” pinta ustadzah Wiwi.
“biarlah saya duduk di sini saja ustadzah, nanti barisan yang di depan diisi wali murid yang lain saja” jawabku sambil tersenyum.
Sembari menikmati kue kotak, aku berbincang-bincang dengan orangtua yang lain. Kami berbincang mengenai sekolah lanjutan anak masing-masing. Setelah kurang lebih dua puluh  menit, akhirnya tamu-tamu penting telah datang. Tamu yang telah ditunggu-tunggu yaitu Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bengkulu Utara. Kedatangan beliau disambut dengan tarian persembahan dan pengalungan bunga. Tarian persembahan ini merupakan tarian khas provinsi Bengkulu. Tarian ini ditampilkan untuk menyambut tamu pada acara-acara penting. Setelah pengalungan bunga, tamu-tamu penting duduk di meja-meja bundar yang telah disediakan.
Dua orang pembawa acara mengucapkan salam, pertanda acara telah dimulai. Acara dipandu oleh siswa perempuan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Aku mencoba hikmad mengikuti acaranya. Setelah pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, acara dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan mars jaringan islam terpadu. Seluruh hadirin diminta untuk berdiri.

Haha... Haha... Haha...
Dengan berbekal semangat kami melangkah
Menjalin ukhuwah dengan tekat membaja
Menuju mutu pendidikan Indonesia
Melahirkan generasi cerdas mulia
Kami jaringan Sekolah Islam Terpadu
Sambut masa depan wajah Indonesia baru
Bersama tinggikan martabat dan citra guru
Indonesia pasti maju (pasti maju)

Haha... Haha...
Disinilah tempat kami berkarya
Menggapai harapan meraih cita-cita
Sebagai penggerak dan pemberdaya bangsa
Wujudkan masyarakat adil dan sejahtera
Kami jaringan Sekolah Islam Terpadu
Bangkit serentak menyongsong peradaban baru
Bulatkan tekat dan cita membangun bangsa
Indonesia kan jaya
Haha... Haha...

Kusimak liriknya, begitu bersemangat seluruh siswa kelas enam menyanyikan lagu marsnya. Kutarik napas dalam-dalam, entah kenapa bulir bening ini jatuh di ekor mataku. Kuresapi anak-anak melantunkan liriknya, kutangkap semangat membara mereka pada hari yang sangat bahagia ini. Kuseka bulir bening ini, sambil kutatap wajah anakku dari kejauhan, yang tetap bersemangat menyelesaikan lirik untuk kedua kalinya.
Acara selanjutnya adalah sambutan siswa berprestasi, yang disampaikan oleh satriaji. Panggilan akrabnya Aji. Aku kembali merasakan suasana haru, menyimak apa yang disampaikannya. “Terima kasih kepada semua ustad dan ustadzah yang telah menunjukajari kami selama kami disini. Terima kasih kepada orang tua kami, yang telah mengantarkan kami bersekolah di tempat ini” Aku semakin sering menyambut bulir bening ini. Tak kuasa menahan suasana yang haru biru ini. Tibalah saat mendengarkan pesan ustadz Anjar Parmidi selaku Top Leader di sekolah ini. Kutelusuri setiap untaian kata yang keluar, aku semakin larut dalam haruku. “kalian adalah anak-anak yang luar biasa, anak-anak yang ustad banggakan. Sudah fitrahnya setiap pertemuan ada perpisahan. Ustad berpesan tetaplah bertaqwa kepada Allah Subhana Wata’ala, miliki rasa malu kepada Allah, takutlah berbuat dosa. Jangan sampai kalian tidak ada, pada saat Allah menunggu kalian untuk berbuat baik. Jadilah mercusuar di tempat yang baru. Tetaplah menjaga keimanan”. Kerenungi nasehat ini, kucoba resapi makin dalam.
“Ya Allah, jadikanlah anak-anakku orang yang selalu Engkau beri petunjuk, ridhoi mereka, permudahkanlah dalam menuntut ilmu, permudahkanlah jalan hidupnya, jadikan mereka sebagai anak-anak yang menjadi penyejuk hati kami, Aamiin ya Rabb” Kutitip sepucuk doa ini ya Allah, gumamku. Sementara itu, ustad Anjar mengakhiri sambutannya. Kuusap ekor mataku, berharap tak ada yang melihat haruku. Pesan yang disampaikan ustad Anjar begitu menyentuh hatiku. Akupun tidak pernah menganggap bahwa anak-anakku luar biasa, namun di sekolah ini, semua ustad dan ustadzah menganggap semua anak luar biasa dengan segala keunikannya.
“Dimohon untuk naik ke atas panggung” ucap pembawa acara, membuyarkan lamunanku. Kuseka air mataku, sembari mengalihkan pandanganku ke arah sumber suara, aku berbisik kepada ibu yang duduk di sebelahku.
“Siapa yang dipanggil bu?” tanyaku.
“Satriaji” ujarnya, tanpa menoleh ke arahku.
“Pemberian penghargaan siswa kelas enam yang berprestasi” Ucapnya lagi, namum tetap sibuk dengan gadgetnya.
Aku kagum sekali dengan anak ini. Aji, adalah teman anakku semenjak duduk di taman kanak-kanak. Perawakannya agak gemuk, berkulit putih, dengan lesung pipi mewarnai senyumnya. Penyematan selempang bertuliskan “siswa berprestasi” dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkulu Utara. Senyuman khas terkembang, mengarah ke posisi tempat duduk orang tuanya. Terbayang santun lakunya. Orangtuanya pasti sangat bangga. Banyak prestasi yang telah diraih Aji. Mulai dari tingkat kabupaten, provinsi hingga mengikuti ajang kompetisi tingkat nasional.
“Acara selanjutnya penganugerahan hafizh quran juz 30, dengan predikat mumtaz, nilai di atas 93” ucap pembawa acara.
“Kepada nama-nama yang akan kami sebutkan, silahkan mengambil tempat” sahutnya lagi.
Pembawa acara, membacakan nama-nama siswa peraih predikat mumtaz. Aku amati semua anak-anak yang bersiap-siap, menunggu giliran untuk naik ke atas panggung. Tak kulihat sosok anakku. Kutekuni daftar nama yang dibacakan, hingga urutan ke tiga belas, ya memang tidak ada. Banyak pertanyaan mencerca kalbuku.
“Predikat apa yang diraih anakku?”
“Mengapa dia tidak meraih predikat mumtaz?”
“Apakah anakku tidak lulus ujian tahfizh?”
Kulirik dia dari kejauhan, masih biasa saja, bercakap-cakap dengan teman di sebelahnya, sambil sesekali menunjuk ke arah panggung. Tanyaku pupus tanpa jawab.
Rangkaian acara dilanjutkan dengan pemberian samir dan piagam tahfiz quran. Secara bergantian siswa dipanggil ke atas panggung, ketua yayasan mengalungkan samir sementara kepala sekolah memberikan piagamnya, didampingi wali kelas masing-masing. Sudah hampir tiba giliran anakku. Dengan sigap aku maju ke depan, mengambil posisi untuk mengabadikannya dengan gadgetku.
“Irfan Amaro Filardhi Fillah, anak dari bapak Gusman dan ibu Eza Avlenda. Tahfiz quran dengan predikat maqbul” ucap pembawa acara.
Klik..klik..klik..aku mengambil foto dari beberapa sisi, berharap dapat angel yang tepat. Terakhir pada saat anakku menuruni anak tangga. Dia langsung menghampiriku.
“Maafkan ya ma, adik cuma dapat predikat maqbul” sembari menyerahkan map berwarna merah hati. Kutatap matanya yang melukiskan kekecewaan, berharap aku menerima pintanya.
“tidak apa-apa dik, mama tetap bangga” Kuusap rambutnya, hampir saja kucium keningnya. Aku tersentak, selembar catatan dihatiku jatuh “Jangan mencium adik di tempat ramai” Kualihkan perhatian pada map merah, tertulis nilai B+, predikat maqbul.
Aku kembali ke tempat duduk semula, menunggu sesi ini usai, kulirik gadget, mengecek galeri foto. Setelah selesai sesi pemberian samir dan piagam, dilanjutkan dengan foto bersama ketua yayasan, kepala sekolah dan orang tua secara bergantian. Di akhir acara, seluruh aulad (sebutan untuk siswa laki-laki) naik ke atas panggung menyanyikan lagu selamat tinggal sahabatku.

Selamat tinggal sahabatku
Ku kan pergi berjuang
Menegakkan cahaya islam
Jauh di negeri seberang

Selamat tinggal sahabatku
Relakanlah diriku
Kirimkanlah doa restumu
Allah bersama slalu


Ku berjanji dalam hati
Untuk segera kembali
Menjayakan negeri ini
Dengan ridho Illahi

Kalaupun tak lagi jumpa
Usahlah kau berduka
Semoga tunai cita-cita
Raih gelar syuhada

Tak dapat ku bendung lagi, tumpah juga di ujung mata. Kalbuku dibaluri haru, berada dalam suasana biru. Telah enam tahun anakku bercengkrama bersama teman, ustad dan ustadzah. Tak ada lelah, yang ada hanya tawa. Namun hari ini mungkin pertemuan terakhir mereka, sebelum menapaki titian yang terpisah. Akankah suasana ini, hadir kembali dipelupuk rindu. Menarik mereka tuk bertemu.



Posting Komentar

 
Top